Monday, August 27, 2007

Perempuan Tandak Dalam Masyarakat Madura

Selain tandak, bisa dikatakan tak ada kesenian tradisional lain di Madura di mana perempuan menjadi unsur dominan. Tayub atau tandak satu-satunya seni tari di mana perempuan menjadi penentu dan pencirinya dari awal hingga akhir. Bahkan, penyebutan tandak untuk nama kesenian mengindikasikan hal ini. Istilah tandak lebih merujuk pada penari perempuan. Tapi karena ia menjadi unsur terpenting, kesenian itu sendiri pada akhirnya sering disebut dengan tandak.

Orang menganggap tandak tak lebih dari perempuan penghibur berfungsi sekadar menemani lelaki dalam pesta. Pandangan sekilas terhadap pesta tayub mungkin segera akan membenarkan klaim di atas. Sekelompok laki-laki berjoget di atas panggung mengelilingi seorang tandak atau lebih. Atas jasanya, si tandak menerima lembaran-lembaran uang dari laki-laki yang berjoget.

Seni tayub sendiri adalah genre seni tari yang mengutamakan penari perempuan dan laki-laki sebagai fragmen pertemuan dua jenis kelamin. Paralel dengan konsep harmonisasi seni pertunjukan tayub dengan meletakkan perempuan tandak dan penari laki-laki dalam satu ruang.

Masyarakat Madura bisa jadi sangat mudah melihat posisi penari tandak dalam dimensi seksual. Pertunjukan tandak sering diasosiasikan sebagai kesenian yang dekat dengan prostitusi terselubung dan perilaku amoral. Konon, keberadaan tandak dalam pentas sengaja diundang untuk meramaikan hajatan. Konsep sosial ini dipahami sebagai atolong oleh warga Madura. Saat ini tandak lebih menyerupai pekerjaan profesional, orang Madura mengistilahkannya alako'.

Dalam konteks relasi laki-perempuan, warga Sumenep dan Madura secara umum, adalah masyarakat patriarki. Kepemimpinan berada di tangan laki-laki, sedang perempuan berada pada posisi terlindungi. Kekhasan patriarki Madura tertuang pada tata kekerabatan, politik ruang, dan budaya kekerasan, yang berputar pada topik penguasaan dan pemilikan laki-laki atas perempuan. Misalnya, model bangunan hunian di Madura tanean lanjhang terbukti tak berfungsi tunggal sebagai rumah tinggal saja. Dengan posisi bangunan terpusat, tanean lanjhang juga berfungsi sebagai pusat kegiatan laki-laki (suami) sekaligus pusat pengontrolan aktivitas perempuan.

Kekakuan patriarki masyarakat Madura dalam memandang perempuan sebagai milik laki-laki tercermin pada cara penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan, carok, terutama konflik yang berdimensi seksual (perselingkuhan), di samping permasalahan tanah dan ternak.

Relasi Laki-laki dan Perempuan

Pada puncak titik kekakuan patriarki itu, tandak muncul sebagai perempuan seni, menciptakan kelonggaran relasi gender dan menjungkirbalikkan kekuasaan laki-laki. Awalnya seni pertunjukan tayub dengan tandak sebagai pemain perempuannya, menjadi sekadar seni hiburan rakyat biasa. Tetapi ketika peran perempuan tandak bergeser dari panggung ke ruang keluarga, laki-laki (suami) tampaknya, bisa jadi, tak lagi disebut kepala keluarga.

Penghasilan tandak yang di atas rata-rata, membuat mereka mampu mengambil alih peran kepemimpinan dan pengambil keputusan keluarga. Ini dialami Suhadiyah, tandak dari Dasuk, Sumenep, yang mampu mencukupi semua kebutuhan keluarga lantaran bekerja sebagai tandak. "Saya tak minta uang ke suami dari hasil ngorkesnya, biar dipakai sendiri sehingga dia tak minta uang terus ke saya," ungkap Suhadiyah. Ia memiliki honor rata-rata Rp 500 ribu - Rp 750 ribu sekali pentas. Tetapi dalam sekali pentas ia bisa mendapat uang Rp 1 juta - Rp 3 juta rupiah dari saweran.

Suka atau tidak, suami harus mengakui dia tak sepenuhnya bisa meminta istrinya berhenti menjadi tandak. Juga menggenggam norma lama suami mengatur istri dan istri wajib menaati suami. Alasannya, persis berada pada titik ekonomi keluarga yang saat ini berada di genggaman istri.

Pengakuan suami tandak asal Saronggi ini menjelaskan fenomena terjungkirnya kuasa laki-laki. "Saya pernah cemburu, karena istri saya ada di panggung dan banyak orang. Kalau saya mulai cemburu, akan cepat saya buang. Kalau di atas panggung, orang kan tak berani macam-macam. Sempat terpikir meminta istri berhenti sebagai tandak, ternyata saya harus memikirkannya lagi karena penghasilannya memang besar".

Seiring pembalikan nilai, norma, dan kepekatan patriarki Madura, pada level kelas menengah, profesi tandak masih diragukan bisa memenuhi standar moral yang ada. Perempuan dalam posisi sosial masih diharap sebagai perempuan ideal, tetap tidak lepas dari kodrat, bertanggungjawab pada keluarga dan masyarakat. Agaknya profesi tandak bagi sebagian perempuan terdidik, berada di luar kualifikasi perempuan ideal.

"Faktor yang membuat tandak dinilai negatif karena ia tak lebih hanya obyek laki-laki, pemuas birahi laki-laki. Tandak yang membuat laki-laki berpikir perempuan mudah dipegang dan bisa dijawil hanya dengan modal uang," tutur Ida, rektor perempuan sebuah universitas swasta di Sumenep.

Mungkin jarang diketahui, tahun 1970-an tandak sudah tak memakai rape' (semacam kemben) dan praktik nyompeng (memberi uang di dada tandak) praktis hilang. Tandak Madura lebih menonjolkan aspek olah vokal dari pada gerak tari, lebih sering mengenakan kebaya layaknya ibu-ibu PKK.

Saat ini seni karawitan di Sumenep didominasi kelompok pengrawit perempuan. Masihkah tandak diverifikasi untuk mendapat tempat di masyarakat, sementara kontribusi dan peran tandak secara sosial domestik sudah menjelaskan strategi pembebasan perempuan?

Suhadiyah: Membalik Arus

Menjadi penari tandak bukan hal mudah. Meski seni tayub Madura tak terlalu menonjolkan aspek gerak tari, namun kemampuan ngejhung (nembang) mutlak harus dikuasai. Suhadiyah, penari tandak Banyuwangi, mengaku baru menjiwai profesinya sejak lima tahun lalu.

Pertama bergelut di dunia tayub, saat bergabung di kelompok karawitan milik kakaknya, Sri Budoyo di Sumenep (1989). Waktu itu ia masih menjadi pengrawit. Banyak penari laki-laki menginginkannya ron-toron atau berperan laiknya tandak profesional. Kelak, praktik ron-toron menjadi mekanisme verifikasi sosial perempuan pengrawit menjadi tandak seutuhnya.

Sejak SD, Suhadiyah gemar berkesenian. Ia pernah ikut samroh, rebana, dan sewaktu SMP ikut bermain di kelompok dangdut. Butuh waktu lama memutuskan menjadi tandak. Tandak senior yang mendorongnya adalah Mahwani, perempuan asal Saronggi. Saronggi, basis tandak di Sumenep, Madura. Sebelumnya basis tandak di Sumenep adalah Dasuk.

Saat ini alasan perempuan memilih profesi tandak tak lepas karena latar ekonomi cekak, meski pada dasarnya juga seniman. Suhadiyah mengakui rata-rata saweran yang diterimanya, Rp 1 juta per hari. Kalau ramai mencapai Rp 3 juta. Itu belum termasuk honor. Pendapatan tertingginya selama semusim (tiga bulan) tembus Rp 50 juta, pernah mencapai Rp 100 juta.

Meski penghasilannya besar, ia tetap menganggap profesi tandak rendah lantaran tak berpendidikan tinggi. Itu sebabnya, ia berharap anak perempuannya menjadi bidan, tak seperti dirinya. Bagi Suhadiyah, keluarga tetap utama. Meski, orangtuanya setuju ia menjadi tandak. Tetapi suaminya jengah, meski lambat laun memahami profesinya. Seperti rumah tangga pada umumnya, pertengkaran juga mewarnai rumah tangganya. Ia memperingatkan laki-laki yang tak kuat mental, untuk tak menyunting tandak.

Seperti suami Suhadiyah yang menggugat cerai dirinya. Suhadiyah hanya mengiyakan. Entah mengapa, suaminya mengurungkan niat. Bahkan, ketika talak telah jatuh, si suami berkeras tinggal serumah. Hampir semua suami tandak memang tak bekerja atau tak memiliki pekerjaan tetap.

Suami Suhadiyah selama ini bergabung dengan orkes dangdut, dan adu burung merpati adalah hobinya. Praktis, Suhadiyah menjadi penopang utama roda rumah tangga. Rumah dan pendidikan anaknya juga buah profesi tandak. Kepala rumah tangga menempel pada sosok tandak Suhadiyah. Ia berwenang menentukan segala kebutuhan rumah tangga, termasuk memberi uang pada suami. "Kalau suami mendapat penghasilan dari ngorkes, saya suruh dia simpan untuk kebutuhannya sendiri, biar dia tak selalu minta uang pada saya", ujarnya.

Dalam lingkungan kerja, Suhadiyah berupaya menjaga hubungan baik, terutama sesama tandak. Sering terjadi persaingan tak sehat antartandak. Jika ada teman sendiri yang memiliki hajat, Suhadiyah bersikap cair dan tak pelit.

Di Sumenep, nama Suhadiyah dikenal akrab karena sering mengadakan pertunjukan, selain compact disc (CD), tandak bisa didapat di mana saja. Banyak CD tandak beredar, tapi tak ada hubungannya dengan kemakmuran hidup tandak. Honor diterimanya dari tuan rumah penyelenggara tayub, bukan produser kaset atau CD. Malah, sering aparat pemerintah dan pengayom yang mengadakan acara, meminta sumbangan pada tandak. Permintaan sumbangan juga datang dari masjid, pondok pesantren atau madrasah. (tim)

Sumber: Surya, Sunday, 26 August 2007