Sunday, August 26, 2007

Dialog Budaya Para Penulis Muda Madura

Habiburrahman Yakin Akan Lahir Sastrawan Besar

Karya sastra dari penulis di Madura terus menggeliat. Terutama dari para penulis muda. Gejala positif ini kemarin dibahas dalam dialog budaya di gedung PKPN Pamekasan kemarin.

Novelis nasional Habiburrahman ES menilai Madura berpotensi dalam melahirkan sastrawan. Alasannya, generasi muda Madura, khususnya santri, bergairah dalam berkarya sastra. Tak jarang karya itu Madura beredar di media massa.

Penulis novel Ayat-Ayat Cinta ini menilai karya warga Madura berbau religiusitas. Itu, kata dia, karena mereka dipengaruhi rutinitas yang sarat dengan kegiatan keagamaan. Pria asal Salatiga, Jawa Tengah, ini mengamati karya warga Madura (puisi) sangat dekat ajaran agama. Lulusan Al Azhar, Mesir, ini mencontohkan puisi Abdul Hadi WM yang menulis Tuhan begitu dekat dengan hambanya. "Kedekatannya diibaratkan api dengan panas," katanya mengutip puisi Abdul Hadi WM.

Menurut Habiburrahman, karya sastra warga Madura bersetuhan dengan keadaan alam sekitar. Dia mengaku telah membaca berbagai puisi maupun esai karya sastrawan asal Madura. Diantaranya, esai maupun puisi D. Zawawi Imron yang menceritakan alam Madura.

Karena itu, dia yakin Madura masa depan akan melahirkan banyak pengarang. Itu dapat dibuktikan dengan generasi penulis yang bertebar di semua kabupaten di Madura. Contoh paling riil, katanya, ratusan generasi muda hadir dalam dialog budaya kemarin. "Saya yakin akan lahir penulis besar dari tanah ini (Madura)," ujarnya memberi semangat.

Narasumber lainnya Hidayat Rahardja mengamati, calon penulis sering patah arang. Terutama bila dia menemui naskahnya tidak diterbitkan di media massa. Karena itu, penyair nasional ini meminta penulis pemula agar menjadikan karya yang belum dimuat sebagai semangat baru. Kemudian, berkarya lagi dengan harapan dimuat.
"Yang penting berkarya dulu. Dimuat atau tidak dimuat media kan urusan belakangan," tegasnya.

Penyair asal Sumenep itu menilai, karya pemula kadang-kadang terlalu muluk. Buktinya, kata dia, ada penulis berkarya menggunakan diksi yang sulit dimengerti. Padahal, diksi yang sulit dipahami belum tentu bobotnya lebih bagus.

Dia menganjurkan penulis pemula agar mengamati karya penulis yang lebih senior. Selain itu, ingta dia, diskursus tentang diksi gelap telah lama berlalu. Saat ini kecendrungan karya tulis berbentuk naturalis dan menyampaikan apa adanya. "Meminjam istilah Budi Dharma, yang sederhana saja justru lebih bermakna," ungkapnya dalam dialog budaya yang diusung FLP (Forum Lingkar Pena) Pamekasan ini.

Hadir dalam dialog ini antara lain kaum santri, pelajar, dan penulis pemula di seluruh Madura. Selain itu, turut menjadi peserta para guru Bahasa Indonesia di berbagai lembaga pendidikan di Pamekasan. (ABRARI)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 25 Agt 2007

2 Comments:

At 4:18 AM , Blogger . said...

wah..., saya jadi ngiri melihat sastrawan di madura sedang bersemangat. salam

www.areapanas.blogspot.com

 
At 10:15 AM , Blogger Unknown said...

Hey sastrawan madura percaya ngak kalow anak SD Kls 5 bs membuat puisi..? Yah percya atw tdk in inlah knyataanny.In murid saya yng bernm Nurul Lutfiatul hasanah,tmpt tnggl d blaban batu mar2 pamekasn,in puisnya.."HARAPAN"
Terbesit bayangan ayu wajahmu
terbias cinta dan kasih
seketika rindu merajam
meluluhkan hati tak tertahankan ingin berjumpa
menebur mimpi menuai harapan
berharap kau jadi milik ku selamanya
tak dapat di sangkal lagi
engkau memang untk ku
biarlah baday melanda cinta kita
berbekal percaya kita mampu lewati
menuju kebahagiaan sejati
yng slalu kita rindukan,
By.Nurul.M

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home